KETIKKABAR.com – Kelompok gangster China telah mengoperasikan jaringan perbudakan perempuan di Georgia, di mana sekitar 100 perempuan diperbudak untuk diambil se telurnya.
Kejahatan ini terungkap setelah tiga wanita Thailand yang jadi korban dibebaskan dari kelompok “mafia telur” tersebut oleh LSM Pavena Foundation for Children and Women yang berbasis di Thailand.
Pavena Hongsakula, pendiri Pavena Foundation for Children and Women, mengatakan bahwa dia pertama kali mengetahui tentang kejahatan tersebut dari korban wanita lain yang telah dibebaskan dan kembali ke Thailand setelah membayar sekitar 70.000 baht kepada kelompok gangster tersebut.
Menurut korban, warga Thailand lainnya masih terjebak di “peternakan telur manusia” karena mereka tidak mampu membayar kebebasan mereka.
Dilansir Sindonews.com, Sebagian besar wanita tersebut terpikat oleh tawaran pekerjaan di Facebook yang menjanjikan gaji antara 11.500 euro hingga 17.000 euro jika mereka bekerja sebagai ibu pengganti bagi pasangan Georgia yang tidak dapat memiliki anak.
Organisasi yang mengiklankan pekerjaan tersebut mengurus paspor dan visa para korban, tetapi begitu para wanita tersebut mendarat di negara Eropa Timur, mereka dengan cepat digiring ke empat properti besar bersama sekitar seratus wanita lainnya.
Para korban segera menyadari bahwa tawaran pekerjaan itu palsu dan mereka telah terseret ke sesuatu yang jauh lebih jahat.
Selama konferensi pers, salah satu korban mengungkapkan bahwa mereka disuntik dengan hormon untuk merangsang indung telur mereka dan dipaksa untuk mengeluarkan sel telur mereka sebulan sekali.
“Para wanita akan disuntik untuk mendapatkan perawatan, dibius, dan sel telur mereka akan diambil dengan mesin. Setelah kami mendapatkan informasi ini dan ternyata tidak sama dengan iklannya, kami menjadi takut, kami mencoba menghubungi orang-orang di rumah,” ujar korban, yang identitasnya dilindungi, sebagaimana dikutip dari Bangkok Post, Minggu (9/2/2025).
Menurut Pavena, sel telur yang dikumpulkan diyakini dijual dan diperdagangkan di negara lain untuk digunakan dalam fertilisasi in-vitro (IVF).
Para pengguna media sosial yang bereaksi terhadap berita tersebut menuntut peraturan internasional yang ketat pada “industri reproduksi”.
“Atur ini sekarang! Harus ada pemeriksaan latar belakang yang ketat tentang asal sel telur donor,” kata seorang pengguna media sosial, sementara yang lain menambahkan: “Sisi gelap dari ibu pengganti. Sungguh menyedihkan apa yang mungkin dialami para wanita ini.”
Pengguna media sosial ketiga berkomentar: “Begitu banyak dari kita tumbuh besar, dan hidup, dalam ketidaktahuan sama sekali tentang apa yang dialami orang lain sehingga kita benar-benar tidak dapat memahami kengerian yang dialami sebagian orang!”
Surapan Thaiprasert, komandan Divisi Urusan Luar Negeri Kepolisian Kerajaan Thailand, mengatakan kepada Reuters bahwa otoritas Thailand sedang menyelidiki lebih lanjut kasus tersebut.[Sumber:sindonews.com]